Buron 10 Bulan, Terpidana Kekerasan Anak Akhirnya Ditangkap Kejaksaan Tangerang: Jejak Pelarian dan Upaya Penegakan Hukum
Kasus kekerasan terhadap anak merupakan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan yang mendapat perhatian serius di Indonesia. Negara menjamin perlindungan anak lewat berbagai undang-undang, namun realitas di lapangan seringkali menunjukkan bahwa keadilan bagi korban berjalan lambat. Terlebih jika pelaku melarikan diri setelah vonis dijatuhkan.
Pada pertengahan Juni 2025, Kejaksaan Negeri Tangerang berhasil menangkap AR (inisial), seorang pria dewasa yang telah divonis bersalah dalam kasus kekerasan terhadap anak dan buron selama hampir 10 bulan. Penangkapan ini menjadi sorotan publik karena selain berhasil mengakhiri pelarian panjang terpidana, keberhasilan ini juga menegaskan tekad pemerintah dalam menegakkan hukum terhadap kejahatan terhadap anak.

Bab I: Kronologi Kasus Kekerasan Terhadap Anak
A. Awal Mula Kasus
Kasus ini bermula pada pertengahan 2023, ketika seorang anak perempuan berusia 10 tahun mengalami kekerasan fisik yang serius di rumahnya di kawasan Cipondoh, Kota Tangerang. Berdasarkan laporan dari tetangga dan guru sekolah korban, korban menunjukkan luka memar di tubuh dan mengalami trauma psikis yang berat.
Pihak kepolisian yang menerima laporan dari masyarakat melakukan penyelidikan dan mengamankan AR, seorang pria yang tinggal satu rumah dengan korban. Berdasarkan pemeriksaan, ditemukan bukti cukup bahwa AR kerap melakukan pemukulan, tekanan verbal, hingga penelantaran terhadap korban.
B. Proses Hukum dan Vonis Pengadilan
Setelah proses penyidikan rampung, AR diajukan ke pengadilan dan menjalani persidangan selama beberapa bulan. Pada Agustus 2023, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan vonis 3 tahun penjara terhadap AR karena terbukti melanggar Pasal 80 Ayat (1) Jo. Pasal 76C Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Namun, setelah vonis dijatuhkan, AR tidak segera dieksekusi ke Lapas. Ia mengajukan permohonan banding, namun sebelum proses hukum selanjutnya berjalan, AR menghilang dan tak diketahui keberadaannya sejak September 2023. Sejak saat itu, AR resmi dinyatakan sebagai buron.
Bab II: Proses Pencarian dan Pelarian AR
A. Penetapan Daftar Pencarian Orang (DPO)
Ketika AR mangkir dari panggilan eksekusi putusan pengadilan, Kejaksaan Negeri Tangerang langsung memasukkan namanya ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Nama dan identitas lengkap AR diumumkan kepada publik melalui media, serta didistribusikan ke berbagai instansi penegak hukum, termasuk Polda Metro Jaya dan Imigrasi.
Kasi Intelijen Kejari Tangerang saat itu, Muchamad Irsyad, menyatakan bahwa pihaknya tidak akan berhenti sampai terpidana diamankan. Tim khusus dibentuk untuk memburu AR yang diduga berpindah-pindah tempat persembunyian.
B. Dugaan Pelarian ke Luar Kota
Selama buron, AR diduga berpindah-pindah kota untuk menghindari pelacakan. Berdasarkan informasi yang dihimpun tim intelijen, AR sempat bekerja serabutan di wilayah Karawang, lalu berpindah ke Bekasi dan Jakarta Timur. Ia menghindari menggunakan KTP dan identitas asli untuk menghindari sistem pelacakan administrasi.
Tim Kejaksaan juga memanfaatkan jejaring intelijen, pelacakan digital, dan laporan warga, termasuk metode deteksi pola komunikasi AR dengan keluarga dan kerabat dekat.
Bab III: Penangkapan AR di Wilayah Jakarta Timur
A. Titik Balik Informasi Intelijen
Pada awal Juni 2025, tim Kejaksaan mendapatkan informasi kredibel bahwa AR berada di wilayah Cipinang, Jakarta Timur. Ia bekerja di sebuah bengkel kendaraan dengan identitas palsu. Informasi ini diperoleh dari hasil pemantauan media sosial dan laporan rahasia masyarakat.
Tim gabungan dari Intelijen Kejari Tangerang dan Kejati Banten segera melakukan pengintaian selama beberapa hari. Setelah yakin terhadap lokasi dan identitas target, operasi penangkapan dilakukan.
B. Penangkapan yang Damai dan Terukur
Pada 15 Juni 2025, sekitar pukul 17.00 WIB, AR ditangkap tanpa perlawanan di depan bengkelnya. Ia sempat mengelak dengan menggunakan identitas palsu, namun setelah dilakukan verifikasi biometrik dan sidik jari, dipastikan bahwa dia adalah DPO yang dicari.
AR kemudian dibawa ke kantor Kejaksaan Negeri Tangerang dan langsung menjalani pemeriksaan lanjutan sebelum akhirnya dieksekusi ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang untuk menjalani sisa masa hukumannya.
Bab IV: Reaksi Publik dan Lembaga Perlindungan Anak
A. Masyarakat Apresiasi Penegakan Hukum
Berita penangkapan AR mendapatkan respons positif dari masyarakat. Banyak pihak mengapresiasi langkah cepat dan cermat tim Kejaksaan dalam menangkap buron kasus kekerasan anak.
Di media sosial, tagar seperti #TangkapBuronKekerasanAnak dan #KeadilanUntukAnak sempat menjadi trending lokal, menandakan keprihatinan publik terhadap maraknya kekerasan anak yang kerap tidak ditindak tegas.
B. Komentar dari LPAI dan Komnas PA
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi (Kak Seto), menyatakan bahwa kasus ini menjadi peringatan keras bagi pelaku kekerasan terhadap anak bahwa mereka tidak akan bisa lolos dari hukum.
Komnas Perlindungan Anak juga menyerukan agar pemerintah memperkuat mekanisme pelaporan kekerasan anak, serta mempercepat proses eksekusi terhadap pelaku yang telah divonis.
Bab V: Upaya Pemerintah dalam Menangani Kekerasan Anak
A. Sistem Pelaporan Online dan Respons Cepat
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) telah mengembangkan sistem pelaporan berbasis online seperti SIMFONI PPA, yang memudahkan masyarakat melaporkan kasus kekerasan anak.
Namun masih banyak masyarakat yang belum mengetahui atau tidak percaya bahwa laporan mereka akan ditindaklanjuti. Kasus AR menjadi contoh bahwa setiap laporan bisa membawa pelaku ke meja hijau jika ditindak serius.
B. Revitalisasi UU Perlindungan Anak
UU No. 35 Tahun 2014 sudah memberikan dasar hukum kuat dalam perlindungan anak. Namun, DPR RI dan pemerintah kini sedang membahas revisi tambahan untuk:
- Memberi hukuman yang lebih berat untuk pelaku kekerasan terhadap anak
- Menjamin perlindungan dan pemulihan psikologis korban
- Memperkuat sistem pencegahan di tingkat keluarga dan RT/RW
Bab VI: Trauma Korban dan Pemulihan Jangka Panjang
A. Dampak Psikologis yang Berat
Anak korban kekerasan fisik dan verbal seperti yang dialami korban AR tidak hanya menderita secara fisik, tapi juga mengalami kerusakan kepercayaan diri, kesulitan sosial, dan gangguan mental jangka panjang.
Psikolog anak menyebut pemulihan korban bisa memakan waktu bertahun-tahun dan memerlukan dukungan dari keluarga, sekolah, dan lembaga pendamping.
B. Perlu Kolaborasi Semua Pihak
Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas lokal perlu bahu-membahu menciptakan lingkungan ramah anak. Sekolah harus menjadi zona aman, dan warga harus berani melapor jika melihat tanda-tanda kekerasan.
Bab VII: Evaluasi dan Rekomendasi Penegakan Hukum
A. Kelemahan Eksekusi Pasca-Vonis
Kasus pelarian AR membuka celah bahwa pengawasan terhadap terpidana pasca-vonis belum optimal. Banyak pelaku yang justru kabur ketika proses hukum berakhir, namun eksekusi belum dilakukan.
Kejaksaan Agung diharapkan membangun sistem pelacakan otomatis, menggunakan teknologi pemantauan digital untuk mencegah pelarian.
B. Rekomendasi Reformasi
- Eksekusi Langsung Pasca Putusan Tetap
- Sistem Pemantauan Digital untuk Terpidana Bebas Bersyarat
- Publikasi Buron di Sistem Nasional DPO
- Insentif bagi Warga yang Melaporkan Keberadaan DPO
Kesimpulan: Keadilan Tidak Pernah Terlambat
Penangkapan AR, buronan terpidana kasus kekerasan anak yang buron selama 10 bulan, adalah contoh nyata bahwa hukum masih dapat ditegakkan selama ada kemauan politik dan integritas dari aparat. Keadilan mungkin tertunda, namun tidak pernah gagal jika negara terus berdiri di pihak korban.
Lebih dari sekadar penangkapan, kasus ini menjadi pengingat bahwa anak adalah prioritas bangsa. Siapa pun yang melukai mereka, cepat atau lambat, harus bertanggung jawab di hadapan hukum.